Review Novel: World War Z
Penulis: Max Brooks
Penerbit: Broadway Paperbacks
Tahun terbit: 2006
Jumlah halaman: 420
ISBN: 978 0 30788 8686 (versi cetak)
Bahasa: Inggris
"Fear is the most valuable commodity in the universe.... Turn on your TV. What are you seeing? People selling their products? No. People selling the fear of you having to live without their products.... Fear of aging, fear of loneliness, fear of poverty, fear of failure. Fear is the most basic emotion we have. Fear is primal. Fear sells."
Film World War Z tidak bisa dibandingkan dengan bukunya. Bukannya mau bilang filmnya jelek; bagus, kalau yang diburu adalah adegan-adegan penuh aksi. Tapi, rambut nanggung Brad Pitt, nyawanya yang seolah ada 19, serta iklan Pepsi menjelang akhir film itu tidak bisa menggambarkan kengerian sesungguhnya dari sebuah perang zombie tingkat dunia yang digambarkan secara realistis, yang justru menjadi kekuatan buku ini.
Novel ini menggambarkan masa depan setelah peristiwa buruk dengan dampak global (dalam hal ini, wabah zombie). Narator dalam kisah ini adalah seorang agen dari United Nations Postwar Commission, yang mengumpulkan hasil wawancara dari saksi mata berbeda di seluruh dunia tentang pandemi zombie global tersebut. Cerita dimulai dari kisah seorang dokter dari Cina, yang menceritakan pengalamannya dengan patient zero (istilah untuk pasien pertama yang tercatat dalam mulainya sebuah pandemi), seorang bocah lelaki di sebuah desa yang terinfeksi ketika sedang memancing di sungai, dimana pasien ini menunjukkan tanda-tanda aneh seperti kebuasan walau tanda-tanda vitalnya sudah tidak ada.
Wawancara kemudian berlanjut ke narasumber dari Tibet, Kuba, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Rusia, Palestina, Israel, Meksiko, India, dan sebagainya. Yang diwawancari bermacam-macam, mulai dari petinggi militer, prajurit, dokter, staf ahli, pilot, ilmuwan, astronot, hingga karakter-karakter berwarna-warni seperti mantan CEO, mantan manajer, pandai besi, pelatih anjing, tukang kebun, anak remaja, penyelundup, penulis, veteran, anggota milisi, bahkan seorang otaku dari Tokyo. Dari hasil-hasil wawancara ini, kita mendapat gambaran mulai dari awal mulanya wabah terjadi, bagaimana bisa menyebar, dampak ketika pandemi zombie pertama meledak, apa yang terjadi setelahnya, dan perubahan besar yang terjadi pada berbagai negara mulai dari perubahan sosial, lingkungan, hingga politik.
World War Z ditulis dengan gaya epistolary, yaitu dibuat seolah-olah terdiri dari kumpulan dokumentasi seperti buku harian, surat, email, blog, atau hasil wawancara. Brooks memang ingin membuat novelnya terkesan realistis, sekaligus memungkinkannya untuk menampilkan sudut pandang berbeda dari peristiwa perang zombie tingkat global. Malah, draft pertama naskah film World War Z sebenarnya ingin mengambil lebih banyak kesamaan dengan novelnya, namun dicoret dan diganti dengan naskah baru yang lebih menonjolkan unsur aksi, sehingga hampir tak punya kesamaan lagi dengan novelnya kecuali beberapa potongan adegan serta judulnya.
Pandemi zombie adalah sarana yang tepat untuk membuat kritik sosial dan politik. Fans George A. Romero tahu bahwa Dawn of the Dead adalah bentuk kritik atas konsumerisme masyarakat Amerika, dan Brooks yang terinspirasi oleh Romero juga mengkritik genre dimana zombie hanya dipotret sebagai tokoh jahat atau malah parodi, atau sesuatu untuk ditertawakan. Zombie versi Brooks adalah korban dari virus tak dikenal yang diberi kode Solanum, yang awalnya disebut sebagai rabies Afrika. Para zombie ini tak lagi memiliki intelegensi, nurani dan kemampuan logika manusia; walau tubuh mereka sudah perlahan membusuk, mereka hanya dikuasai insting untuk makan terus-menerus dan baru bisa mati jika otak dihancurkan (misalnya, ada zombie yang digambarkan sebagai Grabbers; mereka tergigit sebelum mengendarai mobil, lalu ketika menjadi zombie, mereka terperangkap selamanya dalam mobil itu karena mereka bahkan tak punya intelegensi untuk membuka sabuk pengaman dan pintu mobil).
Zombie adalah simbol sempurna untuk rasa takut akan sesuatu yang tak bisa dibendung. Zombie berbeda dengan hiu, hantu, atau manusia serigala. Zombie adalah rasa takut nyata yang “tak perlu dicari” karena mereka yang mengejar Anda. Walau kita bisa melihat wujud mereka dengan jelas, dan nyata mirip manusia, tak ada ruang untuk negosiasi karena mereka digerakkan hanya dengan satu pikiran: makan, makan, dan makan. Kita hanya punya satu jalan: bunuh mereka dengan cara menghancurkan otaknya. Zombie pun dengan tepat menyimbolkan sumber rasa takut yang tak bisa dihentikan atau dinegosiasikan, seperti bencana alam dan terorisme. Sifat ini juga yang membuat zombie diasosiasikan dengan masyarakat konsumtif seperti yang digambarkan Romero di Dawn of the Dead.
Novel ini pun menjadi ‘senjata’ sempurna bagi Brooks untuk melancarkan kritik sosial, sekaligus mengajak pembaca di Amerika untuk lebih terbuka terhadap kondisi sosial dan politik negara lain. Misalnya:
Hancurnya susunan strata sosial
Ketika sipil dan pemerintah membangun lagi sistem kemasyarakatan dan pertahanan setelah pandemi zombie meledak, strata sosial lama hancur berantakan. Para manajer dan CEO serta kaum kelas menengah atas mendadak menemukan bahwa keahlian mereka menjadi sia-sia, karena kini yang dibutuhkan adalah para tukang kayu, pandai besi, mekanik, petani, tukang ledeng, juru masak, tukang sepatu, perawat, penjahit, bahkan kuli bangunan. Ada satu adegan seorang wanita berkali-kali memotong kata-kata trainernya dengan kasar ketika berada di kelas training, dan ternyata wanita itu adalah mantan eksekutif, sedangkan trainernya dulunya adalah wanita yang membersihkan rumahnya. Menurut si narator, bagi orang-orang ini, harus dikuliahi mantan tukang kebun mereka jauh lebih buruk daripada zombie.
Mental isolasi dan pandangan yang keliru tentang survival
Mental isolasi di sini terlihat dengan adanya karakter (terutama yang berduit) yang memilih untuk mengunci diri mereka di dalam rumah/tempat perlindungan. Akibatnya, mereka justru menjadi sasaran pertama para perampok dan penjarah, dan mereka tak kunjung bisa keluar karena wilayah mereka dibanjiri zombie sementara persediaan makanan semakin menipis. Seorang mantan otaku dari Jepang mengisahkan kekeliruan sikap masa lalunya yang menganggap bahwa dengan mengasingkan diri dari dunia luar lewat internet, ia akan selamat (dan berakibat ia nyaris mati ketika berusaha melarikan diri dari apartemennya). Mereka yang selamat justru yang bekerjasama dengan orang lain dalam strategi terprogram berbasis prioritas. Seorang gadis yang keluarganya lari ke alam liar Kanada bersama banyak orang lain bahkan menggambarkan betapa banyak di antara orang-orang ini akhirnya sakit dan mati bukan karena zombie, namun karena tidak menggunakan akal sehat saat membuat prioritas ketika menyelamatkan diri.
Mental selebriti dan hasrat pamer
Dalam satu bab, ada sebuah rumah perlindungan yang dihuni para selebriti, pembawa acara debat, dan diva yang tetap berpegang teguh pada mental selebritis serta prinsip “if you have it, flaunt it.” Mereka memisahkan diri dari dunia sekitar dan menyingkir ke dunia mereka sendiri, menyewa pasukan keamanan, dan menyiarkan kegiatan mereka di dalam rumah perlindungan itu lewat internet dengan gaya reality show. Akibatnya, mereka diserbu orang-orang yang marah, yang kemudian mendobrak rumah tersebut, menimbulkan kekacauan. Saya pikir ini skenario yang dibayang-bayangkan semua orang yang sudah muak dengan acara reality show tak bermutu.
False sense of security, korupsi, dan birokrasi berbelit
Brooks melancarkan kritik terhadap badan pemerintah yang lebih memilih menyebarkan informasi palsu ke masyarakat tentang pandemi zombie, meminta media untuk memanipulasi informasi, namun di saat yang bersamaan gagal untuk menyediakan solusi dan malah menyebarkan obat plasebo. Brooks terutama menohok pemerintah Amerika yang memilih cara tersebut dalam menenangkan warga, karena mereka lebih ingin menaikkan tingkat kepercayaan warga terhadap pemerintah yang menurun. Beberapa operasi militer dan pelatihan warga juga digambarkan terhambat karena adanya birokrasi berbelit.
Buat saya, bab paling menarik adalah tentang dua karakter dari Jepang yang diwawancarai di Yokohama: Kondo, si mantan remaja otaku dari Tokyo, dan Tomonaga, tukang kebun buta yang merupakan salah satu korban selamat dari peristiwa jatuhnya bom atom di Hiroshima. Keduanya mengalami peristiwa yang berbeda ketika pandemi zombie menyebar ke Jepang, dan mereka selamat dengan cara masing-masing, namun seolah mukjizat, dipertemukan di daerah Pegunungan Hiddaka. Tomonaga digambarkan berusaha mengenali alam pegunungan, sepanjang waktu menerapkan aspek-aspek spiritual dalam setiap kegiatannya, termasuk ketika membunuh zombie yang nyasar ke daerah pegunungan itu. Hubungannya dengan Kondo bagaikan samurai tua yang bertemu anak muda nakal yang akhirnya berguru padanya, dan kemudian mereka bersama-sama memerangi kejahatan. Kondo bahkan digambarkan sempat mengambil pedang antik milik tetangganya yang sudah meninggal, dan kemudian memberikannya pada Tomonaga ketika mereka bertemu.
Akhirnya, Brooks juga memberi beberapa gambaran spekulatif tentang apa yang terjadi pada berbagai negara setelah pandemi zombie meledak. Di novel ini, beberapa negara menjadi ‘pemenang’ dan berhasil mengatasi krisis, sedangkan negara lain hancur total atau mengalami perubahan politik dan sosial yang menjurus ke ‘zaman kegelapan.’ Rusia menjadi negara ortodoks yang dinamai Holy Russian Empire, dimana para wanita subur dipaksa mengandung dan melahirkan untuk meningkatkan populasi, dan pemberontakan prajurit memicu sistem hukuman keras yang meniru sistem desimasi zaman Romawi kuno. Cina menjadi rebublik demokrasi yang disebut Chinese Federation. Palestina dan Israel bersatu menjadi Unified Palestine, membentengi diri mereka dengan tembok tinggi (tetapi tembok ini tetap utuh, tidak diserbu zombie seperti di film). Korea Utara digambarkan terabaikan karena penduduknya mengungsi ke bunker bawah tanah. Kota Lhasa di Tibet menjadi kota terpadat di dunia. Kuba menjadi negara dengan perekonomian paling maju dan menjadi pusat perbankan. Paris hancur dan Istana Versailles menjadi pusat pembantaian. Kawasan baru bernama Pacific Continent muncul ketika banyak orang mengungsi ke pulau-pulau tak berpenghuni.
Tidak seperti di film, bagian akhir World War Z punya tipe open ending. Tidak ada cerita seorang jagoan menemukan solusi ajaib untuk menghapus pandemi zombie ini once and for all. Buku ini pun hanya ditutup dengan narasi akhir para responden yang diwawancarai sepanjang novel. Buku ini memang berusaha mengikuti alur penceritaan yang sangat realistis, dimana pandemi global yang sampai mengakibatkan perubahan besar dalam hal sosial, politik dan bahkan lingkungan tentu tak akan memberi jalan bagi siapapun untuk kembali ke kehidupan mereka yang lama. Tetapi, jika Anda membacanya dengan telaten, Anda pun akan menemukan tema besarnya: ini adalah kisah tentang kemampuan umat manusia dalam menghadapi krisis, terutama jika mereka terdorong untuk menggunakan akal sehat, kemauan, dan keberanian serta dorongan untuk bekerjasama, bukannya hal-hal seperti mental selebriti, isolasi diri, keegoisan, manipulasi dan kebohongan.
Komentar
Posting Komentar