Review Novel: Circe
Penulis: Madeline Miller
Penerbit: Bloomsbury
Tahun terbit: 2018
Jumlah halaman: 352
ISBN: 9781408890080
Bahasa: Inggris (sudah diterjemahkan oleh Gramedia Pustaka)
This was how mortals found fame, I thought. Through practice and diligence, tending their skills like gardens until they glowed beneath the sun. But gods are born of ichor and nectar, their excellences already bursting from their fingertips. So they find their fame by proving what they can mar: destroying cities, starting wars, breeding plagues and monsters. All that smoke and savor rising so delicately from our altars. It leaves only ash behind.
Jika para dewa dan dewi sudah memiliki gambaran begitu paripurna, bagaimana membuat cerita tentang mereka menjadi lebih menarik? Tantangan itulah yang dihadapi Madeline Miller ketika menulis novel Circe. Mengambil sudut pandang Circe, dewi kelas rendah alias nimfa (nymph) yang kemudian dikenal sebagai penyihir dalam mitologi Yunani, Miller menggambarkan bagaimana kesempurnaan para dewa Yunani adalah sesuatu yang mengerikan dan bahkan patut dikasihani. Miller juga mengubah narasi populer tentang Circe: dari seorang penyihir yang ditakuti karena mengubah pelaut menjadi babi dan bahkan simbol predator wanita, menjadi sosok wanita mandiri dan tegar yang mengasah kemampuan menyihirnya sebagai respons dari dunia yang keras, kejam, dan tak pernah mengasihani dirinya.
Circe lahir sebagai "anak bawang" dari Helios, dewa matahari, serta Perse, putri penguasa laut Oceanus. Sejak kecil, Circe selalu dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lebih sempurna, dan orang tuanya bahkan terang-terangan tidak menghiraukan dirinya. Hidup sebagai dewi rendahan yang dianggap tidak cantik dan tidak berharga, Circe justru memiliki cara berbeda dalam memandang kesempurnaan para dewa (yang menganggap manusia sebagai sampah karena mereka tidak sempurna serta cepat mati). Ketidaksempurnaan kaum manusia serta cara para dewa memandang mereka justru membuat Circe menjadi lebih tertarik pada kaum manusia. Rasa haus akan cinta membuatnya diam-diam menekuni apa yang disebut sebagai pharmaka (ilmu sihir), hal terlarang di kalangan para dewa, demi mengubah manusia yang dicintainya menjadi sesosok dewa agar mereka bisa bersama.
Circe menemukan bahwa dirinya memiliki kemampuan alami dalam menguasai ilmu sihir, namun hal ini membuatnya diasingkan oleh Helios ke Pulau Aiaia. Selama hidup sendirian, Circe memperdalam ilmu sihirnya, memetik dan menanam tanaman untuk bahan ramuan, bahkan menjinakkan hewan-hewan berbahaya. Circe hanya ingin hidup tenteram dan damai di pulau pengasingannya, namun campur tangan para dewa, dosa masa lalu, serta kehadiran para pelaut yang mulai berdatangan ke pulaunya memaksa Circe untuk menghadapi dunia dan rasa takutnya, serta mempertanyakan makna keberadaannya di dunia.
Novel Circe merupakan salah satu tren feminist retelling, penceritaan ulang mitos kuno dari sudut pandang tokoh wanita, yang biasanya sekadar dijadikan tokoh latar belakang atau karakter yang "jahat" serta "mengerikan" hanya karena dia wanita (Homer, penulis kisah Odysseus, tidak pernah menjelaskan mengapa Circe mengubah pelaut menjadi babi). Dalam wawancara dengan James Blake Wiener dari Ancient History Encyclopedia, Miller menegaskan bahwa walau Circe tadinya "hanya" salah satu tokoh latar belakang dalam mitos pelayaran Odysseus, dia berniat membawa suara sang penyihir ini ke depan, menelanjangi tokoh Odysseus sehingga mereka bertukar posisi (dalam novel ini, Odysseus hanyalah satu dari sekian banyak pelaut yang tersasar ke pulau tempat tinggal Circe).
Menurut Miller, karakter penyihir wanita dalam kisah kepahlawanan yang didominasi pria kerap mencerminkan rasa takut dan cemas akan kekuatan seorang wanita mandiri. Dalam novel ini, Circe diberi latar belakang yang membuat kita memahami mengapa dirinya dijadikan penyihir dalam berbagai mitos: Circe tidak pernah merasa bebas menjadi dirinya sepenuhnya baik sebagai dewi maupun penyihir wanita. Sebagai dewi terasing yang bahkan dianggap tidak pantas untuk dinikahkan (satu-satunya peran para nimfa dalam dunia para dewa yang lebih kuat dari mereka), Circe memutuskan untuk menggali jalan hidup bagi dirinya sendiri dengan menjadi penyihir, mempelajari ilmu yang bahkan para dewa saja takut menyebutnya karena begitu tidak terduga.
Akan tetapi, Miller juga memuji cara Homer menulis kisah Odysseus. Menurutnya, walau kisah Odysseus memiliki banyak monster, dewa, dan peristiwa spektakuler, Homer tidak melupakan "hati" dari kisah tersebut. Odysseus, pada akhirnya, digambarkan bukan sebagai pahlawan perang perkasa, melainkan veteran yang kelelahan dan ingin cepat pulang ke keluarganya, namun tanggung jawab memaksanya terus berlayar hingga ke batas-batas yang tak terbayangkan oleh manusia lain. Miller meniru cara Homer menulis dengan menyuntikkan "hati" ke dalam karakter Circe, mencoba menggali mengapa Circe menjadi penyihir dengan tindakan yang begitu ekstrem.
Karakter Circe, terutama setelah dia menjalani pengasingan di Pulau Aiaia, mengingatkan saya pada tokoh Marlina dalam film Marlina, si Pembunuh dalam Empat Babak (2017). Dalam film ini, Marlina yang kehilangan suaminya bahkan tidak bisa mendapat waktu berduka dengan tenang, karena kediamannya langsung disatroni sekelompok lelaki. Bagi mereka, wanita yang sendirian adalah undangan terbuka untuk merampas, menguasai, memerkosa. Circe hanya ingin hidup damai di pulaunya, dan dia mulanya bersedia menjamu para pelaut yang tersasar ke pulaunya asalkan mereka segera pergi. Akan tetapi, begitu Circe berkata bahwa tidak ada pria yang tinggal di rumahnya, baik suami, ayah, saudara, atau putra dewasa, banyak di antara pelaut tersebut yang langsung berniat buruk terhadapnya, dan mereka yang buruk inilah yang diubah Circe menjadi babi (Miller menggambarkan pelaut-pelaut baik, yang benar-benar hanya ingin makan dan beristirahat, dilepas dengan selamat oleh Circe). Inilah bagian yang menurut saya paling menghentak: bahkan di abad yang katanya sudah modern, dunia tidak pernah ramah pada wanita yang hanya ingin ditinggal sendirian dalam damai.
Bahkan tanpa penceritaan atau interpretasi modern, semua sudah tahu bahwa para dewa dalam mitologi Yunani adalah sosok-sosok yang seringkali egois, picik, licik, dan manipulatif. Miller memiliki kemampuan menggali sifat-sifat manusiawi dari sosok para dewa di sekitar Circe sekaligus menggambarkan kesempurnaan mereka. Akan tetapi, interaksi paling kaya justru terjadi antara Circe dan para manusia. Salah satu favorit saya adalah interaksinya dengan Daedalus si Penemu, di mana keduanya langsung cocok karena sama-sama memiliki penghargaan pada upaya tak kenal lelah dalam berkarya. Akan tetapi, sebagai dewi, Circe pada akhirnya harus melihat sosok-sosok ini satu-persatu menghilang dari hidupnya, sementara dirinya terus hidup (Circe bahkan sesekali menyindir para penggubah sajak dan lagu yang menggambarkan dirinya secara berlebihan atau "takluk di bawah lelaki" setiap kali dia memutuskan mengambil kekasih manusia, seolah menyindir cara pandang populer orang masa kini terhadap sosoknya).
Akhirnya, hal paling menakjubkan bagi saya adalah transformasi karakter Circe, yang terjadi secara bertahap dan alami dari awal kehidupannya sebagai dewi hingga menjadi penyihir dengan keluarga yang dipilihnya sendiri. Para dewa, dalam kesempurnaan mereka, tidak pernah merasa perlu berubah. Akan tetapi, Circe yang seorang dewi mampu melihat kelebihan di balik kehidupan sosok-sosok fana, dan hal itulah yang menciptakan perubahan menakjubkan pada sosoknya, hingga dirinya mampu melakukan hal-hal menakjubkan yang bahkan tidak mampu dilakukan dewa-dewi perkasa. Hal ini, ditambah dengan kemampuan Miller memberi nyawa dan dimensi baru pada tokoh-tokoh mitologi seperti Ariadne, Medea, bahkan Minotaur, menjadikan Circe sebagai novel yang mampu menggali sisi manusiawi dari mitologi Yunani Kuno yang kerap dianggap sebagai sesuatu yang mengawang-awang.
Komentar
Posting Komentar