Review Kumpulan Cerpen: Revenge


Penulis: Yoko Ogawa
Penerbit: Picador
Tahun terbit: 2013 (edisi bahasa Inggris)
Jumlah halaman: 162
ISBN: 978 0 31267 4465 (versi cetak)
Bahasa: Inggris

My chest began to ache and cold sweat ran down my back. My foot caught on something and I stumbled again, managing to catch myself on a large, double-door stainless refrigerator, the kind from a restaurant kitchen. It was spattered here and there with bird droppings. I opened the door, and I found someone inside. Legs neatly folded, head buried between the knees, curled ingeniously to fit between the shelves and the egg box.
Dilihat dari judulnya, Revenge: Eleven Dark Tales karya Yoko Ogawa kesannya seperti kumpulan kisah horor yang akan Anda temukan di rak buku-buku horor populer: kisah-kisah penuh hantu penasaran, pembunuhan sadis berdarah-darah, dan twist ending bombastis yang belakangan ini sepertinya banyak digadang-gadang sebagai penentu kualitas kisah horor. Tapi, kumpulan cerpen yang diterjemahkan ke bahasa Inggris pada tahun 2013 oleh Stephen Snyder ini tidak mengusung kisah-kisah horor, melainkan lebih ke jalinan kisah-kisah gelap yang saling bertaut, mencekam dengan detail-detail yang aneh, samar, indah dan mencekam pada saat yang bersamaan.

Aneh. Samar. Indah. Mencekam. Keempat emosi ini benar-benar terasa saat membaca kumpulan cerpen Ogawa. Buku ini berisi sebelas cerpen, tapi hanya ada empat yang benar-benar bertemakan balas dendam (mungkin terjemahan judul dalam bahasa Inggris kurang bisa memberi kesan yang sama dengan judul bahasa Jepang untuk pembaca yang juga bisa berbahasa Jepang), tapi tak masalah karena saya tetap menikmatinya. Kesebelas cerpen ini saling bertautan; karakter dari cerita sebelumnya akan disebut-sebut di cerita selanjutnya dari sudut pandang karakter baru, tetapi perpindahan ini begitu mulus sehingga Anda bisa saja membaca masing-masing cerpen secara terpisah tanpa berurutan.
Dalam cerita pertama, Afternoon in the Bakery, kita dibawa ke sebuah toko roti bergaya Barat yang hangat dan mengeluarkan aroma kue yang wangi, dengan seorang tamu memesan strawberry shortcake. Ogawa menggambarkan semua detail dengan indah, sampai ke barisan roti yang berderet dan tampilan kue dengan stroberi di atasnya, semua seolah kita benar-benar berada di sana...sampai ketika si tamu berkata bahwa kue tersebut adalah untuk perayaan ulang tahun anaknya, yang meninggal di usia enam tahun gara-gara terjebak di dalam kulkas bekas yang dibuang di tanah kosong dan mati kelaparan serta kehabisan napas di dalamnya.
Holy shit.
Dari situ, tak ada lagi jalan keluar. Ogawa seolah membawa pembacanya ke perjalanan dalam lift yang perlahan turun ke neraka, hanya saja, kita baru menyadari kemana lift itu mengarah ketika sudah setengah jalan. Dari adegan manis di awal yang menipu itu, kita dibawa ke berbagai karakter dan situasi absurd: penulis yang bertetangga dengan wanita tua yang menggali wortel berbentuk aneh dari kebunnya, staf rumah sakit yang mencurahkan sakit hatinya karena diputus oleh selingkuhannya sambil mencuci jas-jas dokter, pembuat tas yang jatuh cinta pada jantung seorang wanita yang berada di luar tubuhnya, wanita yang mengunjungi museum penyiksaan ... semakin ke belakang, semakin tak tertebak siapa yang akan Anda jumpai dan apa yang terjadi.
Tiap cerita punya akhir yang bervariasi. Kadang cukup gamblang, kadang tersembunyi di balik ungkapan samar, rincian kegiatan yang kelihatan sepele, atau kesadaran ketika otak kita menyatukan potongan-potongan adegan di paragraf sebelumnya. Ada juga yang akhirnya open ending, atau malah dibiarkan menggantung, karena misterinya justru adalah daya pikatnya. Narasi Ogawa mungkin sedikit mengherankan kalau kita hanya terbiasa dengan narasi progresif yang lurus-lurus saja. Dalam beberapa cerita, kesimpulan kisahnya baru bisa benar-benar diketahui dari penggambaran di cerita selanjutnya (seperti dalam kisah Lab Coats, Sewing for the Heart dan Welcome to the Museum of Torture).
Tapi, seperti saya bilang, misterinya justru adalah daya tariknya. Ogawa pandai menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga hal-hal yang sejatinya "normal" bisa terasa janggal. Misalnya ketika dia menggambarkan sebuah bangunan kosong yang dipenuhi tumpukan buah kiwi, tinggi sampai ke langit-langit. Atau tomat-tomat merah yang menggelinding dari truk dan memenuhi jalan tempat mobil si tokoh utama lewat. Atau wortel berbentuk jari-jemari yang digali tetangga salah satu karakter dari kebunnya. Keseluruhan efeknya adalah jaring-jaring misteri yang membelit kesebelas cerita ini, membentuk lingkaran sempurna yang tak berakhir setiap kali Anda kembali lagi dan lagi untuk membaca buku ini, mulai dari Afternoon in the Bakery hingga cerita terakhir, Poison Plants. Apa hubungan antara ibu berkabung yang membeli kue di toko roti di cerita pertama, dengan wanita tua pemilik rumah besar yang membayar anak muda tampan untuk membacakan buku baginya? Lingkaran itu baru akan lengkap ketika Anda akhirnya sampai di akhir buku.
Asyiknya, bahasa Ogawa tidak sok puitis atau dramatis. Terjemahan bahasa Inggris oleh Stephen Snyder juga mudah dicerna. Ogawa mementingkan kelihaian merangkai kalimat dan deskripsi yang nampak sederhana menjadi satu kesatuan cerita utuh sekaligus menyembunyikan banyak misteri.
Lalu, bagaimana enaknya mendeskripsikan Revenge? Rasanya kurang tepat mendeskripsikannya sebagai horror atau thriller. Mungkin saya akan mengikuti judulnya saja dan menyebut Revenge sebagai kumpulan cerita-cerita "gelap" (dark). Bagaimanapun, jalinan misteri dalam buku ini tidak hanya menantang kita untuk memecahkan teka-tekinya, tapi juga membuai dalam keindahan misteri itu sendiri. Silakan gunakan sudut pandang apapun yang Anda sukai. Yang jelas, luangkan waktu untuk membacanya dan jangan sekadar disambi, agar Anda bisa menikmati kegelapan samar yang terjalin, sekaligus menemukan potongan-potongan puzzle yang disebar Ogawa di sana-sini.
Ketika akhirnya menyelesaikan buku ini untuk pertama kalinya, saya merasa seolah kata-kata si penjaga museum penyiksaan di cerpen Welcome to the Museum of Torture itu bergema lembut menyapa:
“Whenever you feel the need, please come to see us. We’ll be expecting you.”


Komentar

Postingan Populer