Review Novel: The Persian Boy


Penulis: Mary Renault
Penerbit: Vintage Books
Tahun terbit: 1988
Jumlah halaman: 419
ISBN: 0 394 75101 9 (versi cetak)
Bahasa: Inggris

The bed was ancient but grand, of painted and gilded cedarwood. And now it was time to serve him the royal Persian banquet he must be expecting from Darius' boy. I had it ready, with all the seasonings. But though in my calling I felt as old as time, my heart, which no one has trained, was young, and suddenly it mastered me. Instead of offering spices, I simply clutched him, like the soldier with the arrow wound.

Banyak yang berkomentar kalau film Alexander yang dibintangi Colin Farrell di tahun 2005 flop alias gagal total karena dua hal: kualitasnya yang rendah walau sudah menyelipkan Anthony Hopkins dan Angelina Jolie, serta aspek homoseksualitas yang terlalu diumbar. Saya tidak akan berkomentar tentang yang pertama; walau sejujurnya, lepas dari keasyikan melihat betapa tebalnya eyeliner Jared Leto yang berperan jadi Hephaistion sang sahabat masa kecil Alexander, memang film ini terkesan kurang utuh dan memusingkan di beberapa bagian. Tulisan saya berkaitan dengan komentar kedua tentang homoseksualitas itu, yang menurut saya lucu, karena film ini memang separuh diadopsi dari buku The Persian Boy karya Mary Renault, penulis fiksi sejarah yang terkenal gemar menggambarkan tradisi homoseksualitas Yunani Kuno.

The Persian Boy memang menceritakan tentang Alexander, tetapi dia tidak disebut-sebut sampai Bab 3, dan masih beberapa bab lagi sampai pembaca menemukan adegan dia berbicara. Ini karena The Persian Boy ditulis dari sudut pandang orang kasim bernama Bagoas. Dalam sejarah Alexander terutama di masa-masa setelah dia menaklukkan Persia, ada dua nama Bagoas yang muncul yaitu Bagoas sang Grand Vizier (semacam pejabat tinggi dalam istana) dan Bagoas yang merupakan orang kasim yang menjadi pendamping dan kekasih Alexander. Tentang yang kedua ini tidak terlalu banyak dibahas dalam berbagai catatan sejarah, jadi Mary Renault bisa dengan bebas mengarang dan mengeksplorasi latar belakang Bagoas hingga akhirnya ia bertemu Alexander.

Buku ini bermula saat Bagoas berusia 10 tahun. Putra bangsawan yang tinggal di daerah pegunungan di utara Persia, Bagoas diculik dari rumahnya oleh pasukan bangsawan lain musuh ayahnya, yang kemudian membunuh seluruh keluarganya. Ia dikebiri dan dijual ke seorang pedagang permata sebagai budak, dan kemudian berpindah tangan sebagai budak seks. Parasnya yang elok membuatnya diserahkan ke Darius III, raja Persia yang kelak akan berperang melawan Alexander. Sejak usia 13 hingga 16 tahun, Bagoas melayani Darius III, hingga akhirnya sang raja dikalahkan Alexander dalam beberapa pertempuran, dan melarikan diri.

Bagoas sempat mengikuti sang raja dalam pelarian, sebelum jenderalnya sendiri mengkhianatinya dengan membunuhnya, lantas menyerah pada Alexander. Bagoas pun dibawa ke hadapan Alexander. Dari sinilah ceritanya mulai seru: Mary Renault secara rinci menggambarkan bagaimana Bagoas mulanya kebingungan ketika harus berinteraksi dengan Alexander karena benturan budaya, berjuang memahaminya karena karakternya sebagai raja yang sangat berbeda dengan Darius, rasa cinta yang perlahan tumbuh, kasih sayang khusus yang diberikan Alexander padanya, perjalanannya mengikuti Alexander di setiap kampanye penaklukannya, interaksinya dengan orang-orang di sekitar Alexander, serta pengaruh dan bantuannya pada Alexander yang ternyata di kemudian hari terbukti berharga.

Mary Renault juga menggambarkan kegigihan Bagoas ketika mengikuti Alexander dalam kampanye penaklukan tersulitnya, misalnya ketika mengarungi Bactria, Gaza, dan Gurun Gedrosian, dan akhirnya kampanye masif terakhirnya yang berakhir tragis di India. Ia sendiri juga berhasil menghindari berbagai bahaya seperti pengkhianatan beberapa orang terdekat Alexander, serta percobaan pembunuhan dari istri pertama Alexander, Roxana, yang cemburu.

Karena novel ini digarap dari sudut pandang Bagoas, kita diajak untuk mengenal berbagai tradisi Persia Kuno, terutama terkait status Bagoas yang merupakan orang kasim. Mary Renault yang pernah melakukan perjalanan keliling Yunani dan mempelajari karya-karya serta catatan sejarah kuno menggambarkan dengan sangat detail semua aspek budaya yang berkaitan dengan kisah ini, hingga kita benar-benar bisa merasa dekat secara nyaris intim dengan karakter-karakternya. Contoh terbaiknya ya tentu saja dari sisi Bagoas.

Setelah dibuat ngilu dengan adegan pengebiriannya, dan mengernyit tak tega membaca baris-baris pengalamannya ketika dijadikan budak seks, saya senang membaca adegan ketika Bagoas 'dilatih' sebelum menghadap Darius. Ia dididik oleh orang kasim bernama Oromedon, dalam serangkaian adegan yang mengingatkan saya pada  Mameha yang mengajari Sayuri seni memikat pria secara samar dalam Memoirs of Geisha. Jika Mameha mengajari Sayuri menarik lengan kimono ketika menuangkan teh untuk memamerkan lengan, Oromedon mengajari Bagoas cara melengkungkan lengan sedemikian rupa ketika menuangkan minuman, agar enak dilihat. Bagoas juga belajar cara melayani makan dengan menggunakan peralatan dari emas, membantu sang raja berpakaian, merespon ketika sang raja memberi hadiah atau memanggilnya ke kamar tidur lebih dari sekali, dan sebagainya. Bagoas bahkan belajar menari sehingga ia menjadi favorit bahkan dibandingkan selir perempuan.

Melihat cara Renault menggambarkan budaya istana Persia yang pedantik, menarik sekali membaca adegan ketika Bagoas pertama kalinya bertemu Alexander dan mengalami culture shock; ia menganggap bahwa Alexander yang orang Makedonia sangat barbar untuk ukuran raja (padahal di saat yang sama, pasukan Alexander menganggap orang Persia-lah yang barbar). Misalnya, ia kaget ketika mendengar orang-orang yang resminya adalah bawahan Alexander memanggil namanya langsung tanpa titel. Ia kaget melihat Alexander berkeliling menghibur pasukannya yang terluka setelah pertempuran, dan membiarkan mereka menyentuhnya sampai ia kotor berlumur darah. Ada satu adegan agak kocak saat Bagoas disuruh menyampaikan pesan ke Alexander, dan begitu diberitahu bahwa Alexander sedang berlatih gulat, ia  berlari ke ruang olahraga dan langsung shock melihat Alexander dan para bawahannya berlatih gulat dengan telanjang bulat, praktik yang umum di kalangan atlet Yunani Kuno (walau kalau mau jujur, bukan dia saja yang akan shock melihat satu ruangan penuh atlet gulat berlatih tanpa baju).

Setelah Bagoas pelan-pelan mulai bisa menerima dan bahkan mencintai Alexander, adegan-adegan romantis antar keduanya ditampilkan dengan apik. Mary Renault sendiri menggambarkan karakter Alexander sebagai pria penuh kontradiksi: tak berbelas kasihan sekaligus penyayang, ramah sekaligus tegas, keras sekaligus pecinta yang lembut, pemarah namun bisa berdiskusi asal dilakukan dengan rasional (ahli sejarah mencatat sifat-sifat seperti impulsif, megalomania dan kekeraskepalaan sebagai penyebab beberapa keputusan terburuknya). Ia menaklukkan satu suku pegunungan demi menyelamatkan kuda kesayangannya dan membiarkan prajuritnya meniduri wanita-wanita rampasan, tetapi ia bersikap ramah pada para pelayan mudanya dan di satu adegan bahkan membuat Bagoas menangis ketika ia bertanya kapan ulang tahunnya.

Sayang, interaksi penuh warna ini tak ditampilkan di film. Misalnya, adegan pertemuan pertama mereka di film cukup standar, mirip pertemuan dua remaja SMP-yang-mukanya-ketuaan di sinetron; semua kecanggungan komunikasi karena benturan budaya hilang. Kebanyakan karakter Bagoas hanya diam di samping Alexander, dan adegan afeksi antar keduanya amat sangat sedikit, walau menurut saya tokoh Bagoas di Alexander sangat cocok diperankan Fransisco Bosch, penari flamenco dan balet asal Spanyol (adegan tariannya di film sangat eksotis, dan bahkan berakhir dengan ciuman dengan Colin Farrell, yang meniru satu adegan dalam novel ketika teman-teman Alexander bersorak menyuruhnya mencium Bagoas dalam suatu pesta).

Kisah cinta Alexander dan Bagoas ini mencerminkan tradisi pederasty Yunani Kuno, yang mengacu pada praktik sosial dimana para pemuda, biasanya di rentang usia 15-19 tahun, dianggap wajar jika memiliki kekasih pria lebih tua, asalkan dari strata sosial sama/lebih tinggi dan mampu memiliki peran sebagai semacam mentor, misalnya di bidang keprajuritan, seni atau filsafat, walau nantinya mereka juga menikah dengan wanita saat sudah dewasa. Jadi, jika Anda pemuda di zaman Yunani Kuno, tidak pernah punya pengalaman pacaran dengan lelaki justru akan membuat keluarga Anda malu.

Pemahaman akan perbedaan menjadi salah satu tema terkuat. Ini memang tidak mencakup semua bagian plot, karena saya bicara soal sifat hubungan antara Alexander dan Bagoas. Banyak anggota pasukan dan abdi Alexander yang sudah memandang orang-orang Persia dengan prasangka tertentu, karena merasa lebih beradab. Akan tetapi, hal yang sama pun dirasakan oleh orang-orang Persia terhadap orang Makedonia. Jadi, masing-masing secara keras kepala menganggap orang-orang yang berbeda budaya dan ras dengan mereka ini sebagai lebih rendah.

Hal ini nampak dalam interaksi awal Bagoas dan Alexander; masing-masing terkaget-kaget ketika melihat kebiasaan satu sama lain. Alexander bahkan digambarkan pernah malu karena tanpa sengaja menyinggung Ratu Sisygambis, ibu Darius III, dengan memberinya hadiah alat pemintal. Disangkanya, alat pemintal akan membantu sang ratu tua mengisi waktu luang di istana, karena itulah yang dilakukan bahkan ibu dan saudari perempuan Alexander di Makedonia. Sementara, di Persia, hal semacam itu hanya pantas dilakukan budak. Kekeliruan seperti ini berlanjut selama beberapa bab, namun akhirnya menghilang dan menyisakan rasa cinta di antara keduanya, karena alasan sederhana: masing-masing mau belajar memahami.

Alexander terbiasa mengembangkan rasa ingin tahu yang besar terhadap berbagai hal. Ia bahkan mengadopsi beberapa aspek dalam budaya Persia untuk diterapkan di kalangan orang-orangnya sendiri (walau separuh karena alasan politis). Sebaliknya, Bagoas juga perlahan membiasakan diri dengan kebiasaan-kebiasaan Alexander yang bertentangan dengan budayanya sendiri. Mereka saling mengajari bahasa satu sama lain di malam hari, dan saya tidak tahu bahwa adegan belajar bahasa bersama ternyata bisa digambarkan dengan suasana intim, tanpa embel-embel romansa berlebihan. Dalam satu adegan, Alexander membacakan cerita Achilles dan Patroclus dari lakon Illiad karangan Homerus untuk Bagoas, justru setelah bawahannya yang petugas perpustakaan mengatakan bahwa "anjing Persia tak pantas membaca karya cendekiawan Yunani." Bagoas pun belajar mengucapkan nama Alexander dengan benar, walau selalu kepeleset memanggilnya 'Sikander' atau 'Iskander.'

The Persian Boy bukan novel pertama Mary Renault yang saya baca, tetapi jelas menyemen erat kekaguman saya terhadap caranya menulis secara detail tanpa membuat karakter-karakternya menjadi hampa.


Komentar

Postingan Populer