Review Novel: Dictator


Penulis: Robert Harris
Penerbit: Penguin Random House UK
Tahun terbit: 2015
Jumlah halaman: 520
ISBN: 9780 0995 2268 3
Bahasa: Inggris (sudah diterjemahkan oleh Gramedia Pustaka)

The Spartan statesman Lycurgus, seven hundred years ago, is said to have observed: "When falls on man the anger of the gods, first from his mind they banish understanding." Such was to be the fate of Caesar. I am sure Cicero was correct: he had gone mad. His success had made him vain, and his vanity had devoured his reason.

Trilogi Cicero (Imperium-Conspirata-Dictator) oleh Robert Harris adalah "petualangan" buat saya. Robert Harris membuktikan bahwa dia adalah salah satu master fiksi sejarah bertema Romawi Kuno. Sama seperti penulis fiksi sejarah favorit saya lainnya, Mary Renault (yang menulis tentang Yunani Kuno), Harris tidak hanya menulis tentang Roma; dia menghidupkannya saat saya duduk membaca buku ini di mana saja. Rincian yang begitu mendetail tentang tempat, suasana dan bahkan aspek-aspek kepribadian terkecil dari tiap karakter (bahkan karakter sampingan!) memang menjadi ciri khas Harris, dan sesuatu yang membuat saya jatuh cinta sejak buku pertama.

Trilogi ini memotret kehidupan senator, orator, pengacara, dan penulis Roma, Marcus Tullius Cicero. Jika Imperium memotret perjuangannya saat baru memasuki panggung politik, dan Conspirata memotret perjuangannya menghadapi konspirasi serta godaan saat sudah menjadi senator dan pengacara sukses, Dictator memotret masa-masa yang lebih labil dan bergejolak ketika situasi politik dan perebutan kekuasaan antar tokoh-tokoh di Roma membuat Cicero menjalani pengasingan dan terlibat dalam gonjang-ganjing politik, di mana salah langkah sedikit bisa berujung pada hilangnya nyawa.

Robert Harris jelas sudah melakukan banyak riset untuk menggarap trilogi ini (dan karena itu saya bisa memaafkannya karena memakan waktu lama sekali untuk menggarap 3 buku :-) ). Dia membawa saya ke seluk-beluk perpolitikan Roma Kuno, yang benar-benar mencerminkan dunia politik modern. Ini bukan tempat di mana idealisme bermain. Bahkan Cicero, yang memasuki panggung politik sebagai politikus idealis, menemukan bahwa dirinya ternyata harus sering berkompromi, menentang orang yang salah, membuat keputusan yang etikanya dipertanyakan, atau menelan kekesalan ketika menerima hinaan langsung maupun tidak langsung karena dia harus memperhitungkan langkah-langkah selanjutnya. Harris bahkan tidak malu-malu menggambarkan Cicero yang tergoda oleh uang dan properti mewah ketika memeroleh kesuksesan, sesuatu yang telah banyak menjebloskan politisi yang mungkin memasuki panggung politik dengan idealisme serupa.

Dalam Roma Kuno versi Robert Harris, politik adalah laut yang tidak pernah tenang. Setiap karakter seolah berdiri di atas palang sempit, dan semuanya berjuang agar tidak jatuh, kalau perlu dengan mendorong orang lain agar jatuh, dan yang jatuh pun mungkin menyeret orang lain agar jatuh bersamanya. Cicero seolah tidak pernah hidup tenang; selalu ada saat-saat di mana dia harus menyesuaikan strategi, tahu kapan harus maju dan mundur, tahu kapan harus terang-terangan menentang, mencaci, memuji, memoles citra, atau bahkan sedikit menjilat dan curang. Para karakter ini bahkan tidak tahu kapan mereka akan mendadak ditikam atau dikeroyok sampai mati di jalanan Roma! Dan itu diperlakukan sebagai hal alami, karena situasi di sekitar menuntut seperti itu. Konsep "Republik Roma" dan "demokrasi" seolah tidak pernah berdiri kukuh dalam Roma-nya Harris. No, you just can't be an angel in politics.

Novel ini juga mendorong saya membaca lagi tentang nama-nama yang karakternya dijelajahi dalam buku ini, seperti Cicero, Julius Caesar, Markus Antonius, Brutus, Crassus, Octavianus Augustus, Clodius, Catilina, dan Tiro. Nama terakhir ini penting, karena Harris menulis semua cerita ini dari sudut pandangnya. Keputusan yang tepat, karena terkadang, saya suka membaca fiksi tentang kehidupan tokoh sejarah dipotret oleh pihak ketiga yang intim dengan tokoh tersebut (sama seperti yang dilakukan Mary Renault dalam The Persian Boy). Hal itu memberi kesempatan bagi pembaca untuk mengetahui tentang si tokoh dari sudut pandang yang mungkin tidak akan kita ketahui seandainya si tokoh itu sendiri juga menjadi narator, atau jika ceritanya ditulis dari sudut pandangnya. Tiro sendiri adalah tokoh yang benar-benar ada; budak Cicero yang menjadi sekretaris serta sahabatnya, dan juga orang yang mengembangkan sistem steno yang disebut Tironian Notes, yang digunakannya untuk mencatat pidato-pidato Cicero secara cepat.

Dari segi penokohan, Harris berhasil membuat tokoh Tiro sama menariknya dengan Cicero, suatu hal yang baik karena kadang sulit membuat pembaca merasa tertarik pada dua tokoh utama atau lebih dalam kapasitas yang sama, dan pada akhirnya justru membuat pembaca "membelot" karena tertarik pada tokoh lain. Dinamika mereka sangat luwes, baik dalam urusan pekerjaan maupun ranah pribadi. Saya bahkan sedikit geli ketika menyadari bahwa Cicero seringkali jauh lebih dekat secara pribadi dengan Tiro daripada istrinya sendiri. Cicero dan Tiro begitu dekat, bahkan ketika sejatinya status Tiro adalah budak, sehingga saya benar-benar tersentuh setiap membaca adegan saat Cicero dengan bangga memperkenalkan Tiro dan kehebatan stenonya kepada teman-temannya sesama senator, yang biasanya memandang budak hanya sebagai properti.

Saya juga suka menyaksikan interaksi Cicero dan istrinya, Terentia. Ada dinamika unik antar hubungan mereka, sesuatu yang hanya bisa Anda pahami jika membaca bagaimana mereka berinteraksi. Mereka bukan tipe suami istri yang intim dan hangat, tetapi juga tidak jauh. Sifat hubungan mereka adalah sesuatu yang tidak mudah putus. Sebaris kalimat dalam trilogi ini mungkin bisa menggambarkannya dengan baik: "Terentia adalah seperti batu asah untuk Cicero." Salah satu adegan kesukaan saya adalah ketika Cicero membawakan pidato mengejek yang luar biasa tajam di senat untuk menyerang seorang bangsawan yang telah menghina kehormatan Terentia, dengan Terentia duduk tepat di depannya. Harris juga menggambarkan para wanita Roma dengan baik. Walaupun status mereka di Roma Kuno bisa dibilang warga kelas dua, tetapi beberapa karakter wanita digambarkan menjadi "pemain" di panggung politik Roma dengan cara mereka sendiri yang halus dan tersembunyi, seperti Terentia, Clodia, dan Fulvia.

Saya harus berterima kasih pada penerjemah buku Imperium dan Conspirata (Femmy Syahrani dari Gramedia, trims!), karena berhasil menghidupkan nuansa penceritaan khas Robert Harris. Ketika akhirnya membaca Dictator versi bahasa Inggris, saya berhasil menangkap nuansa itu, membuat pengalaman membaca menjadi luwes dan mengalir. Ketiga buku ini adalah petualangan luar biasa, dan Dictator memberi penutup yang tak terlupakan. Walaupun apa yang terjadi pada buku ini adalah sesuatu dari era Roma Kuno, politik adalah sesuatu yang gaungnya akan tetap terasa akrab hingga kapan saja. Siapapun yang membaca novel ini akan menyadari bahwa politik bukanlah tempat untuk menjadi "orang baik" sepenuhnya. If you decide to jump into politics, get ready for a wild ride.

Komentar

Postingan Populer